Keterangan Gambar : https://konsultasisyariah.com/23466-awas-jangan-suka-bertanya-arti-mimpi.html
Ibnu Taimiyah pernah berkata yang maknanya antara lain 'Jangan terlalu tergantung kepada siapa pun di dunia ini!', -kenapa demikian’- menurut Ibnu Taimiyah bahkan karena bayangan kita sendiri pun akan meninggalkan kita bila sedang berada dalam sebuah kegelapan.
Kata-kata
bijak tersebut dapat kita jadikan sebagai bahan untuk menggapai setiap impian.
Impian setiap individu yang berbeda-beda namun memiliki kesamaan dalam proses
pencapaiannya. Yaitu dengan penuh upaya dan usaha yang bersungguh-sungguh,
dengan kata lain dalam ungkapan Arab kira-kira semakna dengan; Man Jadda wa Jada; Man Shabara Zhafira; Man Sara 'Ala Dharbi Washola.
Bagi kalangan santri ungkapan tersebut tidaklah asing dan memang mudah diucapkan namun tidak mudah diwujudkan.
Kita dapat membayangkan betapa semakin tinggi gunung yang akan di daki, maka semakin butuh banyak kelengkapan menuju kepuncak. Tentu saja, sebelum tiba di puncak, pendaki melewati jalan berliku dan penuh ketidaknyamanan.
Apa sebenarnya impian itu? Impian itu jelas berbeda dengan cita-cita dan atau keinginan. Impian merupakan sebuah keinginan yang tidak mungkin (sulit dicapai). Karena itu, seseorang yang bermimpi dalam tidurnya, tentu saja akan sulit mewujudkannya menjadi kenyataan.
Namun demikian, bila ada seorang pemimpi yang ingin mewujudkan impian menjadi nyata, maka perlu mengevaluasi diri terus menerus untuk mencapai impian. Mimpi seperti apa yang perlu kita pahami?
Di dalam ajaran Islam, mimpi merupakan karunia dari Allah Swt., melalui malaikat atau setan, yang dianugerahkan kepada manusia.
Penelitian yang dilakukan Habibullah Nuruddin, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada tahun 2016 Nuruddin membuat judul ‘Mimpi dalam Al-Qur’an: Pendekatan Psikologi Islam’. Penelitian tersebut menyatakan bahwa mimpi itu bertingkat-tingkat bergantung pada tingkatan ruh. Tingkatan ruh dibedakan berdasarkan kepribadian yang terdiri dari ‘aql, qalb, dan nafs. Ketiga unsur tersebut merupakan komponen pembentuk mimpi.
Masih menurut Nuruddin, dalam al-Qur’an bahasan tentang mimpi (derivasinya) dikatakan sebagai ru’yaa, ahlaam, dan ahaadis. Dua Istilah pertama menunjukkan bentuk mimpi. Ru’yaa menunjukkan mimpi yang jelas, sedangkan ahlaam menunjukkan mimpi yang kosong. Adapun ahadis dikatakan sebagai mimpi jika sudah digabung dengan kata ta’wiil sehingga makna yang dihasilkan adalah tafsir terhadap mimpi yang berbentuk simbol dan isyarat.
Psikologi Islam, dalam penelitian tersebut membagi mimpi dalam dua kerangka besar, yaitu: (1) mimpi yang benar (al-Ru’ya al-Sho’diqah), mimpi ini mempunyai pengaruh terhadap pemimpi, dan (2) adalah mimpi bohong (al-Ru’ya al-Kadzibah) disebut bunga tidur. Mimpi yang benar berupa wahyu dan mimpi orang saleh, sedangkan mimpi bohong adalah mimpi orang kafir, munafik, fasiq dan seterusnya. Dua macam mimpi tersebut ditentukan oleh tingkatan nafs. Mimpi benar berada dalam tingkatan nafs mutmainnah, sebaliknya mimpi bonong berada dalam tingkatan nafs lawwaamah dan nafs ammarah.
Selamat bermimpi, wahai para pemimpi. Semoga Kita Bermimpi yang benar di dalam waktu tidur malam. Penulis ‘pernah bermimpi menjadi seorang Guru yang Besar’. Semoga mimpi menjadi nyata. Amin Ya Rabbal 'Alamiin. (Dfn)